Horizontal Menu HTML Helps

Thursday, February 9, 2012

Kekayaan Apapun didapat dari Usaha Optimal

Beberapa hari yang lalu saya mendengar ungkapan ini dari teman kerabat saya:"Kalau kamu mau gaji besar, kerja lah di jakarta, tapi persaingannya ketat disana. Nah kalau mau kerja santai, di Bandung, dengan gaji standar..."

Ya, itu opini umum yang seolah-olah hanya memberi anda dan saya dua pilihan, gaji besar di ibukota, atau hidup tenang sederhana di kota asal.
Pada dasarnya manusia memiliki hasrat masing-masing, karena tujuan hidup manusia bermacam-macam. Ada yang berhasrat pada kemakmuran, yaitu orang-orang yang mengutamakan jaminan finansial masa depan. Ada pula orang-orang yang berhasrat pada pengabdian, pahlawan dan tentara adalah contoh sederhananya.

Manusia tidak perlu takut akan jaminan masa tua ketika memilih untuk pengabdian sebagai sumber rejeki dalam. Dan kitapun tahu. sebesar usaha manusia untuk memajukan hidupnya, sebesar itu pula lah yang akan didapatkan nya, itulah kekayaannya. Ukuran kekayaan tidak hanya berlaku secara finansial dan material, tapi juga sosial. Orang-orang seperti Bill Gates tentu mendapatkan tabungan finansial yang luar biasa, namun cobalah lihat tokoh lain seperti Mahatma Gandhi yang hidup dengan penuh kesederhanaan. Terlalu jauh? Mari kita lihat Bibit Samat Riyanto yang memulai karir dari kuli tenun hingga mencapai jabatan ketua KPK. Kedua orang tersebut adalah contoh orang yang mengabdi dengan baik pada masyarakat.  Walaupun perjalanan hidup Mahatma Gandhi berakhir tragis, namun namanya abadi dikenang manusia dalam catatan sejarah bukan?, dan Pak Bibit pun dapat hidup berkecukupan di masa tua nya. Kedua orang ini dikelilingi teman-teman dan orang lain yang memperdulikannya.

Kita memaklumi, pada zaman ini, hampir segala keperluan diukur dengan uang, itulah sebabnya kaum Hawa lebih memilih kaum Adam yang menunjukkan prospek kemakmuran. Namun hindari uang sebagai tuhan dalam pikiran anda. Apapun yang anda lakukan dalam menjalani kehidupan, selama dalam kerja keras kita, kita percaya pada Tuhan yang memelihara manusia, atau setidaknya selama tindakan kita mendukung moralitas, humanisme dan keberadaan lingkungan yang baik (manusia tidak dapat hidup tanpa lingkungannya, hewan-tumbuhan dan benda tak hidup), anda berhak meyakini masa depan yang terjamin.

Life is a choice, tipe orang seperti apakah anda? :)



Hanya Sebuah Koin Penyok

Seorang lelaki berjalan tak tentu arah dgn rasa putus asa. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Saat menyusuri jalanan sepi, kakinya terantuk sesuatu. Ia membungkuk dan menggerutu kecewa. “Uh, hanya sebuah koin kuno yg sudah penyok.” Meskipun begitu ia membawa koin itu ke bank.
“Sebaiknya koin in dibawa ke kolektor uang kuno”, kata teller itu memberi saran. Lelaki itu membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, koinnya dihargai 30 dollar.
Lelaki itu begitu senang. Saat lewat toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu obral. Dia pun membeli kayu seharga 30 dollar untuk membuat rak buat istrinya. Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.
Di tengah perjalanan dia melewati bengkel pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu bermutu yang dipanggul lelaki itu. Dia menawarkan lemari 100 dollar untuk menukar kayu itu. Setelah setuju, dia meminjam gerobak untuk membawa pulang lemari itu.
Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita melihat lemari yang indah itu dan menawarnya 200 dollar. Lelaki itu ragu-ragu. Si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju dan mengembalikan gerobaknya.
Saat sampai di pintu desa, dia ingin memastikan uangnya. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Tiba-tiba seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.
Istrinya kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya bertanya, “Apa yg terjadi? Engkau baik-baik saja kan? Apa yg diambil oleh perampok tadi?”
Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh.. bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.

Bila kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan? Sebaliknya, sepatutnya kita bersyukur atas segala karunia hidup yang telah Tuhan berikan pada kita, karena ketika datang dan pergi kita tidak membawa apa-apa.

(sumber: renungan-harian.com)