Horizontal Menu HTML Helps

Monday, December 26, 2011

Flying; to a small town called Kerinci


Seusai pelatihan bersambung yang cukup menguras tenaga, tiba-tiba sebuah tugas berdiri di hadapanku, kaget dan merasa bergairah, ini akan menjadi malam pertamaku.
Pagi-pagi sekali saya mengurus semua surat yang diperlukan dan membawa bekal yang mungkin diperlukan. Tim tiba di travel primajasa batununggal pukul 10.30 dan langsung diberangkatkan menuju bandara Soekarno Hatta. Setelah melalui beberapa gferbang, aku menemukan keanehan dan bertanya pada seorang pegawai yang ramah:”saya merasa belum membayar tiket, apakah tiket ini resmi?”. Sang pegawaipun menjelaskan:”resmi pak, ini sudah dibayar dari kantor bapak.” Sedikit malu saya duduk di lantai tempat orang lain yang berpengalaman sedang menunggu.
Berfoto beberapa kali sebelum roda terangkat dari muka bumi, aku gemetar. Ini pertama buatku. Pak Teten pun sama, rekanku. Ada yang berbeda, bukan pramugarinya yang cantik dan seksi, tapi aku sadar telah berada jauh dari bumi, kalau hari ini aku menjadi bagian dari sejarah, biarlah Tuhan yang menentukan. Aku melihat daratan, tak lama kemudian lautan, lalu awan putih kapas, lalu petunjuk keselamatan, ahh. Akhirnya, pemandangan kota padang, cantik sekali.
Singkat dan mendebarkan, itulah yang saya rasakan. Lalu ketika orang berjalan ke kanan mengambil muatan mereka, aku melihat tulisan “baggage claim” di sebelah kiri, dan dengan langkah sok tahu aku melangkah ke tempat yang sepi, hanya saya dan pak Teten, mengherankan. Yah, saya terpaksa memasang wajah malu untuk kedua kalinya, ternyata bagasi diambil di sebelah kanan. Sial. Sambil menunggu rekanku ke kamar kecil, aku menjaga barang, dan seperti santapan macan, orang-orang ini menghampiriku dengan wajah memuakkan. Ya, aku tahu mereka hanya berusaha mengisi perut mereka dan anak-anaknya. Para sopir taksi illegal. Tak apalah, kami diantarnya ke padang dengan harga delapan puluh ribu, tapi kami bayar Sembilan puluh karena tak ada kembalian. Padang oh padang, kecantikan seorang dara menghibur penantian saya untuk pemberangkatan menuju Kerinci yang menghabiskan biaya seratus empat puluh enam ribu rupiah itu, manis sekali.

Kami diantarkan oleh Edi, sopir travel Ayu, padang. Orang baik, mengemudi dengan telaten, melintas berbagai tikungan seperti sedang berada di roller coaster. Pemandangan desa yang lama tak kujumpai, indah. Sebuah kota kecil yang dikelilingi gunung-gunung tinggi, termasuk gunung Kerinci yang masih aktif. Suasana disini tak ada bedanya dengan bandung dan gunung tangkuban perahu, selain wilayahnya yang masih sepi. Kami tiba di dinas pendidikan, kantornya kecil namun rapih. Setelah kembali menawan dengan wangi maskulin, aku makan di kantin kecil di bagian belakang kantor dinas. Hei, ada bidadari yang lewat melintasi kami, manis sangat.
Bapak pimpinan dan rekanan perusahaan mengantar kami ke lokasi, dan kami pun mulai membereskan tugas. Tugasku tidak lama selesai, sedang pak Teten lebih berat tugasnya, memasang sebuah lemari beras dan perangkatnya. Sambil menunggu saya diantar makan di sebuah restoran kecil, masakan khas kampung padang, jujur, lebih enak dari yang dijual di kota. Lalu menuju danau Kerinci, lokasi bidadari ketiga yang kutemukan, khas padang. Danau cantik dengan fasilitas yang terbilang cukup, pemandangan yang menawan. Harus kuakui, waduk di jawa barat tidak sebanding keindahannya dengan yang satu ini. Kota tempatku besar agak memuakkan dengan sampah di sekujur kota dan desa. Setelah mengabadikan keindahan ini, aku kembali ke lokasi. Bantu pak Teten pasang lemari.
Malam pukul delapan semuanya beres, kenalan kami di tempat mengubah profesinya menjadi ojeg untuk mengantar kami ke hotel, busana. Kebanyakan yang menginap adalah para pengangkut logistic, ya, ini tempat yang murah meriah. Kami ada di sebuah kamar yang diperuntukkan untuk seorang sopir, pemandu jalan dan sopir pengganti. Tidak terlalu bagus tapi sangat layak.
Hari ketiga, semua yang kami perlukan sudah selesai diurus dan kami telah berpamitan, selanjutnya, kami memutuskan untuk segera keluar hotel agar biaya hotel tidak melipat. Mungkin danau Kerinci bersama pak Teten. Sebelumnya, kami perlu menitipkan barang di travel. Ojeg tiga ribu mudah didapat di jalan, kami cegat salah satunya yang kemudian segera mengantar kami menuju travel Ayu, tarik tiga.
Cuaca berhasil menipu kami agar tidak menyambangi danau, sampai 6 jam ke depan. Kami  berkeliling kota untuk mengahabiskan waktu, lumayan, setidaknya kota ini lebih bersih dari kota kelahiranku. Menyusuri pasar yang terbilang sepi, terminal dengan sedikit mobil angkutan umum. Lalu menuju lapangan merdeka, tempat beberapa anak berlatih bermain bola. Bagaimanapun baiknya kota ini, aku masih merindukan kota kelahiranku, dengan sejuta bidadari bergentayangan di jalan-jalannya.
Aku terbangun. Dimana orang-orang? Di dalam travel ini hanya ada aku dan pak Teten, oh tidak! Ternyata sisa penumpang hanya kami. Ya, kami telah sampai di kota Padang. Seorang rekanan perusahaan berbaik hati mengantar kami dari tempat ini menuju bandara, padahal beliau bukan rekanan yang mengundang kami, tapi di tengah kerepotan mengurus orang tua nya yang berada di rumah sakit, beliau mau menyempatkan mengurusi anak-anak rantau ini. Kami mandi sebentar di kerajaan bisnis beliau, lalu kerabatnya mengantarkan kami menuju bandara.
Ini adalah malu ketiga. Pertama, aku bertanya pada petugas bandara:” apakah tiket ini sudah dibayar? Saya belum merasa membayar!” padahal tiket sudah dibayarkan oleh kantor. Kedua, aku berjalan penuh percaya diri menuju klaim bagasi di sebelah kiri, padahal klaim bagasi ada di sebelah kanan saat kami baru sampai di BIM. Dan sekarang, aku melewati airport tax berharap bisa masuk tanpa melewati tempat itu, alhasil, kami diminta mundur dari antrian masuk ruang tunggu, dan membayar airport tax, bagus, ini ulah pak Teten!
Akhirnya kami sampai di kabin pesawat, kali ini aku meminta pak Teten duduk di pinggir, tidak ada kaitan antara hal ini dengan persoalan malu yang ketiga. Dan sepanjang perjalanan pak Teten hanya memiringkan badannya ke arahku, ke bagian tengah pesawat. “pemandangan di bawah bagus sekali Pak”, kataku. “Ah, sieun!”, setelah sedikit melirik ke arah jendela lalu kembali memiringkan badannya ke arahku. “ulah serong kadieu! Bisi mereng pesawatna!(jangan condongkan badan kesini, nanti pesawatnya jadi miring!)” sentak pak Teten mengomentari aku yang memiringkan badan untuk melihat pemandangan di luar. Sesekali pesawat berguncang dan terhempas oleh udara tipis, dan kami berdua hanya tertawa bersama.
Dan akhirnya kami pun sampai di bandara Soekarno-Hatta. Kami membeli tiket menuju bandung dengan bus yang sama dengan bus yang kami gunakan untuk berangkat ke tempat ini, sebelah AW di terminal A1. Kemacetan kota jakarta menjadi pemandangan yang tidak menggairahkan yang mengiringi kepulangan kami menuju bandung. Setidaknya kami sudah berada di daratan. Kami sempat berbicara di bus tentang kecelakaan pesawat, aku hanya berkata:”kecelakaan pesawat terjadi pada satu dari seribu pesawat, jadi kemungkinannya kecil sekali. Yang menjadi masalah jika kita adalah satu diantara seribu itu!

Tuesday, December 6, 2011

Kreativitas otak manusia berasal dari kesalahannya.


Kwabena Boahen, ilmuwan komputer di Stanford University, mengemukakan bahwa sebuah robot dengan prosesor secerdas otak manusia akan membutuhkan sedikitnya 10-20 megawatt untuk beroperasi.
Wow, betapa luar biasa listrik yang ada di kepala kita ini, itu kan yang anda bayangkan? Tunggu dulu.

Pada kenyataannya, komputer jenis ini memiliki ketelitian hingga 1/1 triliun kesalahan. berbeda dengan otak manusia. Kesalahan yang terjadi pada neuron otak manusia mencapai 30 hingga 90 persen. Wow, angka fantastis ini mendukung kebenaran kuota Einstein: "hanya ada dua hal yang tidak terbatas di dunia ini, alam semesta dan kebodohan manusia."

Untuk menciptakan komputer super dengan kepandaian setara manusia, hanya dibutuhkan listrik sebesar 20 watt, senilai dengan lampu rumah anda! Lalu kemana perginya kesalahan pada neuron tadi? Ilmuwan menduga bahwa kesalahan-kesalahan inilah yang membuat manusia menjadi kreatif. Jika sebuah ingatan tau metoda yang dibutuhkan untuk bertahan hidup tidak dapat dikeluarkan dari otak kita, maka otk akan membuat jalur baru untuk menciptakan metoda baru bertahan hidup dari apa yang mampu dikeluarkan dari bank memorinya. Luar biasa bukan?


Lebih lanjut bacalah situs berikut:
http://indopoints.wordpress.com/2011/08/07/seberapa-banyak-power-yang-dibutuhkan-otak-manusia-untuk-berfungsi/




(Kwabena  Bohaen)