Horizontal Menu HTML Helps

Thursday, March 8, 2012

Sebuah Kidung



Saya dan keluarga saya hidup bercukupan. Kami tidak kaya, tapi kami utuh, itu setelah melalui proses yang panjang. Dulu kami pernah menjalani masa kemakmuran. Saat ayah baru saja pensiun, uangnya ia belikan dua buah angkot, dan ia memperbesar warung keluarga kami. Kami merasa uang begitu melimpah, namun sayangnya kami tidak dalam keadaan bahagia. Ayah seringkali marah-marah, dan saya hampir tidak peduli pada masa depan saya.
Namun masa itu sekarang sudah berakhir, kami menyayangi ayah, dan kami cenderung memilih untuk mengutamakan keluarga dalam menjalani hidup. Ibu yang menguatkan kami. Namun ini tidaklah sempurna. Ayah berhutang banyak pada saudara dan bank, cukup berat, dan sekarang saya berusaha memulihkan kondisi keluarga ini. Kami yakin Tuhan pasti memberi jalan. Sebenarnya ayahku tidak sendiri di kota ini, kami memiliki banyak sekali saudara, walau demikian, kami harus menghadapi kesulitan ini sendiri. Hanya kami dan Tuhan. Saya belajar banyak hal, bahwa saudara memang tidak dapat kami andalkan dalam melewati segala kesulitan, itu wajar karena mereka pun memiliki kesulitannya sendiri, jadi saya maklum. Saya ingat, ketika masa-masa sulit saya dengan uang pun, yang membantu saya di dunia ini hanyalah adik saya, yang mungkin berarti bahwa hanya keluarga yang bisa saya andalkan.
Pagi ini saya duduk di kursi gereja, mendengarkan kidung pujian yang dinyanyikan jemaat begitu indahnya, ketika saya bercerita dalam hati pada Tuhan bahwa saya menimbang-nimbang hal ini, bahwa kerabat tidak dapat diandalkan. Sosok perempuan itu datang dari samping saya dengan memegang sebuah buku, kidung jemaat. Mungkin ibunya atau dia sendiri tahu bahwa saya dan adik-adik saya yang duduk sejajar tidak membawa buku lagu pujian itu, jadi mereka meminjamkannya dengan sedikit kata-kata dengan bahasa senyuman. Saat saya berpikir bahwa tidak satupun dari kerabat yang akan menolong kami, Tuhan mengirimkan seseorang untuk meminjamkan kidung jemaat, sungguh sebuah pelajaran yang berharga tentang sudut pandang kita dalam menilai jalan kehidupan.

Saya kemudian teringat sebuah kisah nyata terdokumentasi tentang seorang penjahat di Amerika Serikat, di tengah jeda desingan peluru ia berkata pada polisi:”mulai hari ini tidak ada lagi kehidupan untukku...”, dan sang polisi memberinya air mineral. Ia berkata dengan lantang:”tidak ada seorangpun yang memperdulikan aku, dan kau memberiku air minum!” dan kata-kata terakhir yang diucapkannya sebelum menyerah adalah : “baiklah, aku menyerah, aku telah bersalah, tapi kehidupan akan terus berlanjut”. Dengan demikian ia tidak perlu menghadapi resiko tertembak atau mati.

Saudaraku, seberat apapun kehidupan ini, jangan mengandalkan apa yang anda lihat. Teruslah berusaha dan andalkanlah Tuhan, seringkali Tuhan mengirimkan kita malaikat dalam sosok manusia. Ingatlah juga bahwa pelajaran yang diterima manusia dalam kehidupannya dapat berbeda, bergantung pada jalan yang diberikan Tuhan, mungkin tidak hanya ada satu, biasanya selalu ada pilihan. Apapun yang terjadi, manusia memiliki caranya masing-masing untuk memperoleh kebahagiaan, belajarlah dari kehidupan yang kita dapatkan dan mulai jalani dengan ucapan syukur.

God loves us :)

No comments:

Post a Comment

Tanggapan anda disini