Horizontal Menu HTML Helps

Thursday, July 4, 2013

Road to Serpong


Orang ini lucu. Dari tulisan tangan, nama panggilan saya, tanda tangan dan paraf saya, dia berhasil mendeskripsikan saya dengan sangat tepat. Kebanyakan deskripsi tentang saya yang keluar dari mulutnya memang tepat, sampai akhirnya Dito sampai pada satu deskripsi:”Mas itu kalo pacaran orangnya romantis, tapi kalo udah nikah biasa saja”. Dalam pikiran saya”jlebb..”

Bel jam 5 sore berdering, saatnya saya berangkat. Hampir saja lupa, saya segera berjalan menuju meja manajer. Saya datang untuk minta ijin beliau kalau saya tidak akan masuk kerja keesokan harinya. Mungkin baginya ini sedikit berat, tapi beliau mengijinkan. Setelah ijin tertinggi didapat, saya berjalan mantap menuju meja kerja, membereskan barang-barang, lalu bersiap untuk berangkat. Tidak lupa saya berpamitan dengan pak Bos yang duduk dekat meja saya. Beliau adalah satu-satu nya bos yang merelakan saya pergi, entah karena mengerti keinginan saya, atau pasrah. Mau bagaimana lagi, saya berpamitan dengan beliau membalas pamit saya dengan pertanyaan:”wawancara lagi ya?” saya jawab dengan singkat:”ya Pak” sambil saling melempar senyum. Bukan senyum genit ya, tapi tanda pengertian.

Saya melangkahkan kaki agak tergesa, mengingat saya harus segera menebus tiket. Rasanya firasat saya kurang oke. Panaskan motor, pakai helm, lalu siap gerung-gerung. Saya mengambil rute lain dari biasanya, kali ini saya menyusuri jalan berliku di bawah jembatan pasupati. Baru saja keluar dari perempatan, I see a friend. A smart and beautiful young women. Kami bicara sedikit, tadinya saya berpikir untuk mengantarkan pulang, kebetulan saya di jalur yang sama dengan arah jalan menuju rumahnya. Tapi Tuhan punya rencana lain, tadi pagi helm dibawa adik saya ke kampusnya. Demi tidak mengambil resiko celaka di jalan atau celaka keliatan polisi, saya mengurungkan niat mengantar pulang. Kami bicara sebentar, saya minta doa dan dia mempersilakan saya berangkat. Oke, orang pertama yang saya minta restunya.

Ah, firasat saya benar. Tepat di jalan memutar seberang rumah sakit saya melihat ke atas, ternyata jembatan begitu lengang, seharusnya tadi saya lewat jalan itu. Apakah ini pertanda saya mengambil keputusan yang salah? Saya renungkan kembali semua yang sudah saya lalui. Apakah mungkin firasat buruk mengalihkan perhatian saya pada sebuah langkah besar yang mungkin hasilnya baik? Saya yakin Tuhan lebih suka melihat saya bersikap persisten. Saya lanjut menggerung motor sampai ke travel. Salah satu travel ternama di kota bandung. Setelah memarkirkan motor, saya bersemangat menuju FO dan menebus tiket. Kali ini si petugas bilang:”macet Mas, bisa delay 1,5 sampai 2 jam. Perjalanan juga bisa lambat sampai 5 jam”. “Ah tidak, sekali lagi ini mungkin pertanda buruk”, pikir saya dalam hati. Keyakinan saya kalau Tuhan memelihara umatnya akhirnya menguatkan saya untuk tetap berangkat. Persisten. Saya putuskan untuk langsung menebus tiket tidak peduli apapun yang akan menghambat. Tiket sudah ditebus, waktunya menjemput adik saya di kampus.

Adik saya yang akan membawa motor saya pulang dan menemani saya menunggu jadwal keberangkatan. Mau tidak mau saya harus traktir makan, nasi goreng depan kampus. 15 menit menjelang pukul 19, telepon berdering. Pegawai travel meminta saya bergegas ke lokasi untuk keberangkatan. Tanpa diduga, yang seharusnya saya berangkat agak malam, ternyata saya bisa berangkat lebih awal ikut dengan mobil lain yang kebetulan masih tersisa satu kursi kosong. “God hides His amazing plan”. Akhirnya saya bergegas menuju lokasi travel. Titip uang dan motor ke adik saya, lalu petugas segera menggiring saya seperti bebek yang hilang ke mobil travel. “Ah pantas saja tiketnya mahal, mobilnya bagus gini”, pikir saya dalam hati begitu duduk di bangku mobil travel yang nyaman abis Sob.

Perjalanan kali ini lebih nyaman dari sebelumnya dengan agen travel yang berbeda. Kursi penumpangnya sepertinya punya program otomatis untuk menyesuaikan ke-empuk-an busa dengan bokong penumpang. Kalau penumpangnya berat dia mengeras, kalau penumpangnya baik hati dan bobotnya ringan seperti saya, jok nya berubah menjadi super duper empuk. Banyak yang saya ingat dalam perjalanan ini. Mulai dari gadis di samping saya yang makan malam di dalam mobil, perempuan cantik di depan saya yang mengoleskan vitamin rambut ke kepala dalam perjalanan setelah main Hay Day di tablet, sampai penumpang laki-laki di baris ketiga yang meletakkan kresek putih yang menghalangi jalan menuju kursi belakang. Dan di dalam mobil ini juga saya mengirim pesan ke orangtua dan teman-teman dekat saya, meminta restu dan doa untuk menjalani tes esok harinya dengan baik.

Kami meluncur lewat tol dalam kota, lalu keluar di Kebon Jeruk Jakarta Barat. Sesampainya di pool Meruya saya langsung menggenggam telepon dan berusaha menghubungi teman baik saya yang berencana menjemput. First kring…. gak dijawab…. Second kring…. gak diangkat…. SIXTH kring…. apa dia ketiduran di kosan ya? #pasrah. Saya hanya bisa duduk dan berharap si Emon datang dengan kereta kuda berlapis emas #Oh my hero. Untungnya setelah 5 menitan berlalu dia datang. Dan benar dia datang dengan kuda hitamnya yang rem depan nya blong. Nyawa saya terancam.
Kami berangkat menuju kosan Emon. Kali ini, saya yang bawa motornya, ngeri kalo Emon yg bawa. Sesampainya di kompleks perumahan lokasi kost nya Emon, saya merasa tenang. Mandi, istirahat, dan langsung berusaha memejamkan mata. Alhasil, saya bangun tiap 2 jam. Lebih parahnya lagi, saya bangun di pagi hari dengan 104 bentol gigitan nyamuk di kaki. (Angka tersebut diambil dari uji sampling jumlah bentol merah per luas wilayah 5 jari dikalikan dengan faktor luas wilayah kulit ujung kaki). OH MY GOD, ngeri banget. Okay, forget it! 05.45. Urusin perut, mandi, dandan, berangkat. Menuju Serpong, kali ini Emon jadi sopirnya.

Perjalan ke Serpong kali ini lancar banget. Saya mampir sebentar di axxxmart. Ambil duit, beli roti buat sendiri, dan lupa beliin buat si Emon, parah. Emon nyetir, saya makan. Alhasil, di tengah jalan gigi saya patah. Peringatan dari Tuhan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan temen XD. Tak berapa lama, kami pun sampai di gedung tempat saya menjalani tes.

Gedung ini bentuknya unik. Konon katanya gedung ini dirancang untuk pemanfaatan energi bersih. Rangka luarnya tampak seperti sisa-sisa rusuk dinosaurus. Di bagian dalam, tampak jelas kalau tempat ini untuk orang-orang profesional. Saya berjalan masuk dengan mantap. Kemarin lewat pintu samping yang selalu terbuka, kali ini lewat pintu tengah yang terbuka otomatis ketika saya berjalan melewatinya. Tampak jelas disana Pa Haris, usia 1 tahun di bawah saya tapi sudah Master, berjalan menuju ruang para dosen. Kami saling menyapa, dan seperti manusia pada umumnya dia mengingat saya sebagai Toha sang pahlawan. “Toho Mas!” jawab saya mempertegas kelupaan beliau akan nama saya. Kami berbincang sedikit. Dari pembicaraan itu saya tahu kalau dia sudah diterima sebagai dosen dan sudah mengajar 4 mata kuliah termasuk fisika modern. Impresif. Singkat cerita saya mengisi buku tamu lalu bergegas menuju ruang HRD. Disana saya bertemu Nicky.

Nicky itu orang Indo yang baru menyelesaikan kuliah di Thailand. Dia melamar sebagai peneliti dan dosen di bidang WASTE a.k.a manajemen lingkungan yang kerjaanya membuat sampah jadi bermanfaat. Kebayang ya, kalo sampah masyarakat juga bisa diolah menjadi pupuk tanaman dan…. Cukup sampai disitu imajinasinya. Selain Nicky saya juga bertemu dengan beberapa orang lainnya. Irwan melamar untuk posisi staff kemahasiswaan, Mulyono melamar untuk posisi staff keuangan, dan Ravenska melamar untuk posisi pembina mahasiswa. Kebanyakan dari mereka sudah punya teman yang termasuk orang dalam di tempat ini, tapi tentu tidak mempengaruhi jalannya proses seleksi. Berbincang dan sedikit bersenda gurau dengan mereka membuat saya melupakan dinginnya ruangan ber-AC tempat kami menunggu untuk mengikuti psikotest dan wawancara dengan HRD.

Akhirnya Bu Duma, salah seorang pegawai HRD, memperkenalkan kami pada Bu Lili yang cantik yang akan membimbing kami melewati psikotest. Usia beliau mungkin sekitar 33 kalau saya lihat dari penampilannya. Tapi penampilan tidak menjadi ukuran yang jelas. Dari nada bicaranya saya bisa merasakan kalau beliau itu termasuk kaum profesional. Yang waktu muda nya belajar serius dan dididik dengan disiplin oleh orangtuanya. Karena begitu bicara semua orang mendengarkan dengan patuh. Persis seperti Hokage ke V. Yah, waktunya psikotest, saya berusaha menenangkan diri.

Tes pertama tujuannya mengukur IQ, ada 4 test dan semuanya bertujuan mencari pola yang terbaik. Dalam tes ini saya tidak bisa mengerjakan sampai 100%, rasanya selalu ada soal-soal yang sangat sulit setidaknya satu atau dua nomor dari masing-masing tes. Tes kedua adalah tes karakter. Tujuannya adalah melihat kecenderungan karakter peserta psikotest. Tentu ingatkan dengan istilah Sanguine, Choleric, Plegmatis dan Melankolis? Tes ini sepertinya mengukur seberapa besar porsi masing2 karakter dalam kepribadian kita. Selanjutnya, tes wartegg. Dalam tes ini kita disajikan 8 buah kolom berisi gambar. Kita bebas menggambar dengan acuan berupa gambar yang sudah ada sebelumnya dalam setiap kolom. Setelah menggambar, kita akan diminta memberi judul pada masing-masing gambar, menentukan gambar yang paling sulit dan yang paling mudah dikerjakan, hingga yang paling disuka dan paling tidak disukai. Sepertinya tes ini bertujuan menggali intuisi alam bawah sadar kita tentang arah dan tujuan hidup yang kita pegang.

Tes keempat, menggambar pohon. Pohon saya harus berbatang besar, berdaun lebat, berbuah banyak, berakar kuat, ada sarang burung dengan sepasang burung kecil yang menjaga telur dalam sangkarnya, dan entah kenapa saya menggambar seekor burung bersayap lebar di balik dedaunan pohon di paling atas. Mungkin saya berpikir tentang keberadaan sosok “besar” yang tidak terlalu saya kenal dalam sebuah organisasi. Tes kelima juga tentang menggambar. Kali ini kami diminta menggambar orang. Saya tahu kalau tes ini bertujuan untuk menggambarkan sosok diri kita. Pria berusia 30 tahun, dengan dasi dan pakaian rapih. Saya hanya berpikir tentang sosok yang profesional, berpenampilan baik, dan tetap sederhana. Tes terakhir adalah mengarang. Kami diminta mengarang sebanyak minimal 12 baris. Beberapa orang diantara kami mengarang dengan jumlah yang lebih dari itu. Saya mengarang tepat 12 baris. Sebenarnya ini menggambarkan betapa saya “tidak mau bekerja lebih” dari apa yang sudah diminta. Maklum saja, saya memang orangnya mengejar kecepatan kerja, yang penting selesai dulu. Tujuannya supaya punya banyak waktu luang untuk berpikir dan mengurus beberapa hal lain. Ini gak berlaku untuk sesuatu yang saya suka. Kalau saya suka, saya akan mengerjakan lebih dari yang seharusnya. Ini adalah tes terakhir. Setelah semua tes ini berakhir, waktunya saya diwawancara oleh pihak HRD.

Awalnya bu Nina masuk ke ruangan kami. Beliau berbicara tentang beberapa hal, terutama menegaskan kredo perusahaan yang menjunjung tinggi pluralisme, dan tidak berpolitik. Ini adalah satu hal yang sangat saya suka dari perusahaan ini. Saya jadi teringat tentang tulisan teman saya di jejaring sosial yang bercerita tentang mengapa ia suka bekerja di tempatnya bekerja sekarang. Tentang bagaimana dia bisa menuangkan pikirannya untuk dikerjakan dan menghasilkan produk. Sebagian dari kami menunggu di luar sesudahnya. Menunggu beberapa teman selesai dengan tes koran, lalu satu persatu kami mulai dipanggil untuk diwawancara oleh pihak HRD.

Ruang tempat kami menjalani psikotes sama dengan tempat kami menjalani wawancara. Tempat ini dingin sekali. Saya menggigil sepanjang diwawancara. Saya sempat menyela untuk menanyakan apakah AC di ruangan itu selalu menyala, dan memang AC di ruangan itu selalu menyala. Untunglah saya merasa dapat menjawab semua pertanyaan itu dengan percaya diri, setidaknya dari perspektif saya.

Ada pengalaman menarik yang terbenam di ingatan saya tentang hari itu. Sebelum menjalani wawancara dengan HRD kami menunggu di sepanjang lorong menuju ruang HRD. Seseorang berpenampilan super sederhana lewat di depan kami dan berjalan masuk menuju kursi kepala HRD. Beberapa saat kemudian manusia unik ini keluar dari ruang HRD dan duduk tepat di sebelah saya. Saya mencoba berkenalan dan berbincang dengan orang ini. Ternyata beliau adalah peneliti neuroscience. Neuroscience adalah bagian dari ilmu science yang secara khusus mempelajari mengenai otak. Setelah sedikit memperkenalkan diri, Dito namanya, berkata pelan dan tegas pada saya:”Ada permainan sederhana Mas”. Dan dengan sedikit bingung saya memperhatikan gerak gerik Dito membuka buku catatan kosong, lalu menuliskan beberapa hal dan menggambar beberapa kotak kosong. Ternyata saya diminta mengisi biodata dan membubuhkan beberapa tanda tangan. Saya pernah mempelajari metoda ini beberapa kali, jadi saya tidak begitu heran dengan apa yang dia lakukan. Dito mulai mendeskripsikan tentang diri saya, sempat juga dia meminta saya menunjukkan kedua garis tangan saya. Dan Dito pun mulai berbicara mendeskripsikan karakter saya. “Mas itu orangnya punya rasa penasaran yang tinggi. Mas jauh dari kemungkinan terkena penyakit serius. Mas itu kalo diawal menggebu-gebu ya Mas, sesudah itu Mas bersikap biasa-biasa saja. Mas itu punya karakter pemimpin yang kuat” Deskripsi Dito. “Wow, sepertinya itu memang tepat”, pikir saya. Deskripsi Dito selanjutnya membuat saya sedikit tercengang, “Mas itu orangnya romantis waktu pacaran, tapi nanti waktu udah nikah biasa-biasa saja”, bilang Dito. Wah apa benar begitu? Kasian istri saya nanti kalau begitu. Perjumpaan saya dengan Dito harus berakhir disitu. Dito harus mengurus beberapa keperluan seminar nya. Pernyataan Dito terakhir tentang saya cukup mengejutkan saya. Sisi positifnya, mungkin Dito ingin memperingatkan saya untuk bersikap persisten dalam hubungan asmara. Waktu menunjukkan pukul 13, waktunya saya pulang.

Angkot pertama saya angkot kuning menuju Kelapa Dua Serpong, ternyata Nicky sudah berada di dalamnya. Kami berbincang sedikit hingga akhirnya saya harus turun duluan. Nicky orang yang ramah, terlihat kalau orang ini memang cerdas, namun supel dan fleksibel. Saya menyebrang taman lalu naik angkot biru R.15 menuju ke arah gerbang Gading. Dari caranya menyapa temannya di jalan, saya tahu kalau beliau adalah orang batak. Saya beritahu tentang kelebihan sopir angkot orang batak. Kalau kita bertanya alamat pada mereka, maka mereka akan menunjukkan tempat tersebut dengan ramah dan deskripsi yang jelas dan pastinya sampai tepat di tujuan. Biasanya angkot-angkot dengan sopir orang batak adalah angkot yang paling aman di seluruh pelosok negeri. (Saya tidak menyinggung soal hobi balapan ala sopir orang batak). Sesampainya di gerbang gading, saya sama sekali tidak menjumpai warung makan. Akhirnya saya memutuskan membeli gorengan sebagai bekal di jalan, lalu segera naik angkot jurusan Kalideres.
Ah, lagi-lagi sopirnya adalah orang batak. Kalau tadi saya bercerita tentang kebaikannya, kali ini saya akan ceritakan kekurangannya juga. Saya bertanya tentang Bus menuju Bandung pada tulang satu ini. Tulang pun menjawab dan menyarankan saya naik Bus Arimbi tujuan Bandung. Saya turun di depan pool bus Arimbi di daerah Cikokol. Bukannya menurunkan saya di jembatan penyebrangan yang jaraknya lumayan dekat, beliau malah menurunkan saya persis di depan pool Bus. Sambil menunjuk ke arah pagar berlubang dia berkata,” Nah itu lobangnya, Cuma satu, di seberang itu lah”, dengan logat khas batak. Beliau mempersilahkan saya menyeberang jalan melewati pagar pembatas jalan yang berlubang. Tulang juga sama sekali tidak memberi saya uang kembalian, beliau pura-pura tidak tahu dan langsung tancap gas begitu saya turun. (Bukannya mau suudon, tapi perasaan saya bilang begitu). Habis sudah uang lima ribu rupiah untuk membayar perjalanan yang “rasanya dekat”. Tak apalah. Dan persis seperti pengalaman Bos saya dahulu, saya harus menyeberang melewati arus deras. Ah tidak, this is ridiculous. Meter demi meter saya lewati, masuk melewati lubang pagar pembatas jalan, lalu kembali menerobos derasnya arus kendaraan. Sambil berdoa,”Tuhan selamatkanlah nyawa ku, demi orangtua, adik-adik, dan jodohku….”. Akhirnya saya berhasil melewati arus deras menuju neraka.

Saya duduk di baris kedua belakang sopir bus. Waktunya pulang, semoga Tuhan menyertai dan melindungi kami dalam perjalanan menuju Bandung. Home sweet home.

No comments:

Post a Comment

Tanggapan anda disini